Setiap
hal yang punya rasa pasti punya nyawa – Ben
Sejak kemunculannya di tahun
2015 lalu, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) sudah mencuri perhatian
penikmat film. Cerita yang diangkat dari cerita pendek karya Dee Lestari ini,
secara khusus menarik penikmat kopi menikmati kopi dengan filosofinya dalam
bentuk film dan secara umum memberikan warna lain kepada masyarakat dalam
sajian sebuah karya seni. Berbeda dari sequelnya yang pertama, Filosofi Kopi 2 adalah
hasil pengembangan cerita yang berasal dari penonton melalui lomba #NgeracikCerita.
Chemistry yang dimiliki dua sahabat sejati ini terasa semakin kuat
dalam setiap adegannya. Dialog yang disajikan masih kental dengan gaya khas Angga
Dwimas Sasongko selaku sutradara sekaligus scriptwriter bersama Jenny Jusuf. Gaya bicara dan bahasa yang digunakan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dialog yang digunakan
ringan, mudah dimengerti, terasa dekat, natural dan dibuat se-real mungkin. Penonton tidak butuh waktu
untuk mengerti setiap detailnya.
Kedai Filosofi Kopi
yang ditutup oleh Ben & Jody di filmnya sebelumnya, mengubah konsepnya dengan
membuka kedai kopi keliling menggunakan VW Combi dari satu kota ke kota
lainnya. Konflik mulai muncul ketika Nana, salah satu karyawan mereka, mengajukan
pengunduran diri karena sedang hamil. Kemudian diikuti oleh karyawan lainnya
dengan alasan ingin mewujudkan mimpi mereka masing-masing.
“Mas Ben & Mas Jody punya Filosofi Kopi,
saya juga ingin mewujudkan mimpi saya mempunyai kedai kopi sendiri.”
Kepergian mereka
sebagai tim filosofi kopi akhirnya menyadarkan Ben & Jody, bahwa mimpi
mereka bukanlah membuat kedai kopi keliling seperti sekarang ini. Dua sahabat
ini memutuskan kembali ke Jakarta dan membuka kedai kopi yang pernah membuat
nama mereka dikenal dikalangan para pecinta kopi nusantara.
Kalau di film terdahulu El
(Julie Estelle) berperan sebagai jembatan antara Ben & Jody menemukan kopi
terbaik yaitu kopi tiwus, kali ini Tarra (Luna Maya) menjadi jembatan untuk
membuka usaha mereka yang sempat tutup. Tarra berperan sebagai investor
sehingga kedai ini bisa dibuka kembali. Perjalanan baru siap mewarnai kedai Filosofi
Kopi dengan kehadiran Tarra. Peran Luna Maya di film ini cukup mengobati rasa
kangen penonton setelah cukup lama absen dalam film bergendre drama, Tarra, seorang
wanita mandiri yang lahir dari keluarga yang piawai dalam berbisnis,
membuktikan sebuah perjuangan karirnya tanpa harus mendompleng nama
keluarganya. Perannya ini cukup luwes, tidak bertele-tele, berani membayar
mahal untuk keberhasilan bisnisnya (nggak pelit kayak Jody si Mr. Cuan & Paman
Gober) dan staright to the point.
Kehadiran Tarra sudah mencuri perhatian Ben sejak awal, yang membuat Jody sepertinya
akan mengalah lagi terutama soal gondrong (sebutan Ben&Jody untuk wanita).
“Jod, nggak semua hal lo harus mengalah dari
Ben. Kayak dulu lo mengalah soal El.”
Warna lain
diberikan oleh Brie (Nadine Alexandra) seorang barista lulusan Melbourne, yang
belakangan diketahui kalau motivasi yang menjadikannya seperti sekarang ini
adalah Ben (Barista Role model). Kemunculan Brie sebagai barista baru di
Filosofi Kopi, yang direkrut Jody tanpa persetujuan dari Ben, menimbulkan
konflik baru dan terutama bagi Ben yang dikenal idealis dalam meracik kopi.
“Kopi itu tidak selalu berbicara soal
hitung-hitungan, tapi rasa yang diberikan saat meraciknya.”
Brie yang membuat
kopi selalu dengan timbangan membuat image
Filosofi Kopi yang selalu bicara soal ‘rasa’ mulai hilang, terutama dengan
adanya berita dari reviewer yang
beredar di internet. Ide untuk memperbaiki nilai kedai mereka dimata masyarakat
segera muncul dengan mempercepat pembukaan Filosofi Kopi di Jogja. Hari
pembukaan kedai Filosofi Kopi di Jogja menjadi kebahagiaan sekaligus kesedihan
bagi Ben, karena kabar meninggalnya Bapak Ben dihari yang sama. Kehadiran Brie
sebagai salah satu tokoh wanita difilm ini terasa kurang kuat dibandingkan tiga
tokoh lainnya.
Sepanjang adegan
ini emosi Ben yang naik turun berhasil membawa penonton merasakan hal yang sama
dengannya, terutama saat Ben & Jody yang secara bersama-sama membawa tandu
dari jenazah bapaknya. Kedekatan mereka sebagai bromance memang tidak usah diragukan lagi. Tanpa ucapan hanya
dengan tatapan mata mereka sudah saling mengerti.
Dalam satu jam
pertama film ini, penonton dihibur dengan dialog ringan yang menarik tawa.
Memanjakan mata dengan keindahahan alam Indonesia diantaranya Tana Toraja. Kebudayaan
dan tempat yang notabene sudah umum bagi masyarakat, namun secara visual kembali
dibuat takjub dengan keindahan alam Indonesia dengan pengambilan gambar yang
cantik. Penjabaran cerita cukup detail di awal, runut dalam bertutur, plot yang
agak lambat namun tertolong dengan konflik baru yang muncul sebelum konflik
terdahulu selesai sehingga rasa bosan tidak terlalu lama melanda.
Konflik baru
muncul dikarenakan Tarra memiliki rahasia yang berhubungan dengan kejadian yang
menimpa Ben dan keluarganya dimasa lalu. Hal ini berpengaruh kepada hubungan
Ben dengan Tarra dan kelangsungan kedai mereka.
Adegan yang
dilakukan di Makassar tidak memberikan pengaruh berarti kepada jalan cerita
selanjutnya. Tujuannya dirasa hanya untuk memperlihatkan keindahan alam yang
dimiliki oleh daerah tersebut.
Dalam 1 jam terakhir
runut dalam bercerita mulai berkurang, penyelesaian konflik terkesan buru-buru,
beberapa dialog terdengar hanya sebagai tempelan. Salah satunya dalam scene dimana Brie merasa kesal karena Ben menyebutnya
tidak punya hati lalu pergi keluar kedai, dan adegan Ben menghampiri Brie, kemudian
secara tiba-tiba Ben memberitahukan konflik yang terjadi antara dirinya dengan
Tarra (Sepertinya perlu ditambahkan adegan lain, karena ada terasa ada bagian
yang hilang). Cara Ben ‘baikan’ dengan Brie tidak dijabarkan dengan jelas. Kalau
ajakan Ben kepada Brie untuk mengunjungi Lampung adalah cara konflik mereka selesai,
dirasa kurang mewakili.
Kejutan yang Ben
dapatkan dari pamannya, menjadi adegan puncak dan sangat sentimental. Kebun
kopi yang ditanam Bapak Ben semasa hidupnya, mengeluarkan emosi yang melonjak
dari Chicco Jerikho. Rasa kasih sayang kepada keluarga mengalir ke
tengah-tengah bioskop di saat Ben dan Bapaknya bertemu dalam angan. Adegan ini
cukup menguras air mata. Adegan favorit saya sepanjang film diputar. Surprisingly dengan mudah penonton dapat
menebak adegan selanjutnya bahkan ending
dari film ini.
My Favourite Scene (Source google)
Kelemahan cerita
jadi terasa karena banyak adegan yang dipotong terutama bagaimana cara Ben,
Jody dan Tarra menyelesaikan masalah mereka. Identifikasi masalah yang cukup
terperinci di awal cerita menjadi tidak tuntas penyelesaiannya diakhir film.
Kata-kata
penutup yang diucapkan Ben kepada Tarra sesat sebelum adegan akhir menjadi boom yang dalam dan menyentuh : Setiap hal yang punya rasa pasti punya nyawa.
Sequel
Filosofi Kopi yang mengambil judul ‘Ben & Jody’, memang mengupas sedikit
lebih dalam tentang kehidupan masing-masing tokoh, tanpa menghilangkan unsur
filosofi kopi didalamnya. . Berbeda dengan cerita sebelumnya, di sequel ini
tidak dibahas persoalan tentang kopi secara detail dan mendalam.
Ben & Jody sudah memiliki
tempat tersendiri bagi para penikmat film. Konsistensi mereka menampilkan kenaturalan disaat berakting, jalan
cerita hasil pengembangan dari penonton yang lebih menonjolkan sisi drama,
memperkenalkan keindahan alam Indonesia, menjadikan film Filosofi Kopi sebagai tontonan yang cukup komplit dan menghibur.
Rate
: 6.5/10