Film yang diangkat dari novel
yang berjudul sama karya Moammar Emka baru release
tanggal 23 Februari 2017. Sebuah karya yang menguak sisi lain Ibu kota. Buat
saya sih film ini agak beda dari film yang lain. Dunia malam yang lekat dengan
sex dan narkoba, pencarian jati diri, persahabatan, kejujuran sampai pengorbanan
ditampilkan dengan apik. Film yang di sutradarai oleh Fajar Nugros ini cukup
berhasil menampilkan kebebasan dunia malam di Jakarta.
Adalah Pras (Oka Antara) seorang
perantauan yang bekerja sebagai wartawan. Dikejar deadline sebuah berita tiap harinya oleh Bossnya (Lukman Sardi).
Tinggal di lorong rusun yang kumuh, sempit, tanpa jarak. Pras yang hampir
wara-wiri dari awal sampai akhir aktingnya tidak usah diragukan lagi. Berkolaborasi
lucu dan gemesin saat bersama Awink (Ganindra Bimo) seorang pria feminim yang
terpaksa meninggalkan mimpinya untuk sekedar bertahan hidup di Ibukota, memilih
bekerja sebagai penari striptis disebuah klub malam. Kelamnya Jakarta membawa
dunia baru bagi Pras. Bertemu seorang model namun terjebak dalam dunia
prostitusi lagi-lagi untuk bertahan hidup. Dia adalah Laura (Tiara Eve), berjuang
untuk dirinya dan keluarga setelah ayahnya di penjara karena korupsi, ibunya
yang sakit-sakitan dan menanggung hidup adiknya.
Yoga, seorang bandar
narkoba (Baim Wong) yang nyaris mati diselamatkan oleh Pras tanpa alasan dan
tanpa imbalan. Membawa mereka dalam ‘persahabatan’ dengan pegkhianatan.
Set yang dipilih cukup baik,
merepresentasikan apa yang ingin script
writer dan sutradara sampaikan. Karakter yang paling mencuri perhatian
adalah Awink dan Yoga. Pria feminin yang seolah terjebak dalam tubuh pria macho terasa begitu real. Setiap gimmick, dialog,
ekspresi yang ditampilkan sangat sesuai porsi dan terasa natural.
Bahkan scene kejujuran Awink pada Pras adalah
bagian favorit. Tidak banyak kata-kata tapi kejujarannya sangat terasa.
“Ganteng….”
(Pras menoleh).
“ Nama saya yang
sebenarnya, Fajar.” (Awink)
Yoga yang meletup-letup,
penuh emosi sangat tepancar dari wajah yang disuguhkan oleh Baim Wong. Sisi
sedih dengan menangis (adegan di ruangan
dengan berdua dengan Pras), terasa natural dan ‘dapet’ banget kesepian dan kesedihannya.
Tio Pakusadewo yang
muncul diakhir cerita tanpa banyak dialog. Eksekusi perannya sebagai pejabat
yang haus ‘wanita’ dengan ekspresi mendominasi terpancar banget. Kualitas
aktingnya memang juara.
Ada beberapa adegan yang
menggantung. Apa yang terjadi antara Pras dan Yoga selanjutnya tidak
diceritakan sehingga terasa tidak tuntas. Bagian akhir antara Pras dan Laura. Kesedihan
Pras yang teralihkan ketika dia berkata kangen dengan berteriak. Ketika
dikatakan sampai dua kali jadi berasa agak lucu. Rasa sedih yang kurang ter-deliver dari Laura. Entah karena
ekspresi atau tangis yang dipaksakan.
Tetapi secara keseluruhan, film Jakarta
Undercover berhasil menggambarkan kehidupan kelam secara nyata. Satu karya lagi
yang membuktikan film Indonesia semakin berkualitas. Bravo to all casts and team.